Airis Ayunisa

Ketahui Masa Puber Anak Anda !

Apa jadinya jika orang tua tidak mengetahui masa puber anak? Akibatnya adalah saat anak mengalami pubertas, ia menjalaninya sendiri tanpa pendampingan, hingga akhirnya muncul berbagai masalah pada remaja. Lebih lanjut, anak akan tumbuh dan berkembang menjadi remaja bermasalah dengan diri atau lingkungannya.
Jadi sebaiknya orangtua mencari pengetahuan seputar pubertas agar bisa mendampingi tumbuh kembang anak pada masa penting ini.

Anak-anak akan mengalami masa transisi dari anak menuju dewasa secara bertahap. Pada masa pubertas, anak akan mengalami perubahan fisik dan psikologis. Saat inilah anak mulai dikelompokkan sebagai remaja, dan pubertas adalah tanda-tandanya. Secara umur, masa pubertas bervariasi namun umumnya 8-13 tahun untuk perempuan, dan 9-14 tahun untuk laki-laki. (Pada artikel sebelumnya, disebutkan untuk anak perempuan dimulai di usia 8-14 tahun dan pada anak laki-laki dimulai antara usia 12-16 tahun).

Puber adalah tanda-tanda, dan remaja adalah kelompoknya. Banyak orangtua tidak mengerti pubertas. Orangtua hanya tahu saat anak perempuan puber saat menstruasi, atau anak laki-laki puber saat mimpi basah. Padahal mens atau mimpi basah ini adalah puncak pubertas. Seharusnya orangtua sudah mengenali atau mendampingi anak memasuki masa pubertas sebelum masa puncaknya.

Banyak tanda pubertas yang dialami anak sebelum mereka mens atau mimpi basah. Nah, orangtua perlu mendampingi setiap perubahan fisik dan psikologis yang terjadi pada anak sejak dini, karena setiap anak akan mengalami perbedaan waktu dalam mengalami puber. Bahkan, sejumlah anak bisa saja mengalami pubertas dini (di bawah 8 tahun) atau bahkan pubertas terlambat (di atas 14 tahun). Perubahan fisik dan psikilogis dalam diri anak perlu dipantau secara mendetail oleh orangtuanya. Karena itulah orangtua perlu memposisikan dirinya sebagai teman kepada anak, terutama saat anak beranjak remaja.

Kebanyakan orangtua mengalami masalah komunikasi dalam keluarga. Orangtua, tanpa sadar masih menganggap anaknya sebagai "baby". Padahal, orangtua perlu lebih demokratis, menerima anak apa adanya, mendengarkan anak agar anak belajar meneladani orangtuanya.

Komunikasi orangtua anak perlu dibangun sejak dalam kandungan, berlanjut saat batita, balita, dan masa usia sekolah dasar di mana biasanya anak terabaikan. Orangtua perlu merangkul anak dengan nyaman. Persoalan yang terjadi kebanyakan adalah, apakah orangtua mau atau tidak merangkul anak? Sebab, tanpa merangkul anak, orangtua akan kehilangan anak meski secara fisik anak hadir dalam keluarga. Kehilangan di sini dalam arti, anak akan merasa lebih nyaman berbicara dengan teman-temannya, mencari informasi dari luar yang belum tentu benar.

Dengan memantau perubahan fisik anak menuju remaja, orangtua bisa melakukan berbagai penanganan. Jika anak mengalami masalah secara fisik atau psikologis saat mengalami masa transisi, orangtua bisa meminta bantuan pakar.

Sebagai contoh, ada anak remaja yang sakit lalu dibawa ke dokter untuk diobati. Setelah diajak bicara, diketahui bahwa anak ini sebenarnya sedang jatuh cinta. Hanya dengan berkomunikasi dari hati ke hati, anak ini bisa pulang tanpa diberi obat karena memang masalah yang dialaminya bukan sakit fisik, tetapi sakit karena jatuh cinta. Dalam kasus seperti ini, orangtua perlu menambah asupan wawasan untuk menangangi anak saat pubertas. Masalah hormonal saat puber memengaruhi emosi, selain juga berdampak pada hal lain seperti malas makan hingga migrain, susah tidur, sehingga tumbuh kembang pun menjadi terganggu.

Karenanya faktor psikologis tidak boleh putus dalam mengasuh anak. Lakukan pendekatan cinta, berbicaralah kepada anak dengan hati. Inilah mengapa penting bagi orangtua untuk membekali diri mengenai pubertas agar tak melihat masa puber dari sisi negatif.

( Source : www.seputarduniaanak.blogspot.com )

0 Comments

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post